Peran hakim sangat dominan. Konsep perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata mengikuti perkembangan yurisprudensi yang dibentuk Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Rosa Agustina dalam bukunya berjudul Perbuatan Melawan Hukum menyimpulkan konsep perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad dalam Pasal 1365 KUH Perdata sebagai rumusan yang sangat terbuka dikembangkan. “Perumusan yang demikian akan memberikan keleluasaan pada hakim untuk menemukan hukum. Perumusan Pasal 1365 KUH Perdata yang lebih merupakan stuktur daripada substansi dapat merupakan stimulus secara legal untuk terjadinya penemuan hukum secara terus menerus,” tulis Rosa dalam kesimpulan penelitian disertasinya itu 2003242-243.Perlu diingat, perbuatan melawan hukum berlaku pada hubungan perikatan yang terjadi atas dasar undang-undang. Dasar gugatan ini tidak berlaku apabila terdapat kontrak/perjanjian yang mengikat para pihak terkait objek gugatan. Sengketa dalam perikatan atas dasar kontrak/perjanjian hanya bisa menggunakan gugatan wanprestasi. Mengenai perbuatan melawan hukum, Rosa mencatat unsur-unsur pembuktiannya secara kumulatif berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata sebagai berikut perbuatan itu harus melawan hukum; ada kesalahan dari pelaku; ada kerugian; dan ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian 2003117.Rosa juga mengingatkan konsep perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad dalam KUH Perdata Indonesia tidak dapat lagi disamakan dengan perbuatan melanggar undang-undang onwetmatige daad dalam doktrin hukum pidana. Putusan Hoge Raad pada 31 Januari 1919 untuk perkara Cohen v. Lindenbaum menyingkirkan ajaran legisme dari konsep perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH konsep perbuatan melawan hukum akan terus berkembang lewat putusan dan yurisprudensi yang dibentuk pengadilan. Pembuktian unsur melawan hukum’ tidak hanya mengacu norma yang sudah tertulis dalam undang-undang. Kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian yang diasumsikan harus dimiliki seseorang dalam pergaulan bermasyarakat juga bisa menjadi acuan hakim dalam menilai suatu perbuatan telah melawan hukum’ 2003240. Hakim yang akan berperan penting menambah daftar acuan atas unsur melawan hukum’ yang dipertimbangkan pengadilan.
Perbuatanmelawan hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu (a) perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku[6] dan (b) melanggar hak subyektif orang lain, [7] tetapi juga (c) perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaedah yang mengatur tata susila,[8] (d) kepatutan,[9] ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda wargaMembahas analisis antara kaitan penerapan prinsip teori acara perdata Strict Liability dan Precautionary Principle dalam kasus lingkungan hidup. Berdasarkan putusan pengadilan atas sengketa antara KLHK dan PT. Bumi Mekar Hijau Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free STUDI KASUS PERBUATAN MELAWAN HUKUM ANTARA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MELAWAN PT BUMI MEKAR HIJAU Tugas Kelompok Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Komponen Nilai Perkuliahan Studi Kasus Hukum Lingkungan Kelas A Oleh 1. Ashabinur Adam Maulana 110110140311 2. Razy Ramanda P 110110160326 3. Reynata Alya Hartono 110110160070 4. Pieter Manuel 1101101600155 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2019 1 A. Kasus Posisi Kasus yang akan dibahas adalah kasus Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diputus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No. 51/PDT/2016/ antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia sebagai Penggugat/Pembanding dan PT Bumi Mekar Hijau sebagai Tergugat/Terbanding, Berikut adalah identitas dari para pihak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, dengan ini memberikan kuasa kepada Jasmin Ragil Utomo, Umar Suyudi, dan Nixon F. L. P. Silalahi, beralamat di Jalan Panjaitan Kav. 24 Kebon Nanas Jakarta Timur dan Nasrullah Abdullah, Jimmy Jeremmy, Herwiansyah, dan Ibrahim Fattah, Para Advokat, beralamat di Jalan Timor Nomor 10 Menteng Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 12/MENLHKK/12/2014 tanggal 29 Desember 2014, selanjutnya disebut sebagai Penggugat/Pembanding; Melawan PT Bumi Mekar Hijau, dalam hal ini diwakili oleh Jhonson Lumnan Tobing dan Suhadi Kosasih dalam kedudukannya sebagai Direktur, beralamat di Jalan R. Sukanto Kompleks Ruko PTC Blok I Nomor 63 Lantai 3 Palembang, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Kristianto Maurice Juniarto Rubin, Fajar Ferdinand Dermawan Simorangkir, John Co Siagiana 2 Para Advokat beralamat di Menara Kuniangan Lt. 12-E Jalan Rasunan Said Blok Kav 5. Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 12 Januari 2016, selanjutnta disebut sebagai Tergugat/Terbanding; Kasus ini bermula dari ditemukannya peristiwa kebakaran hutan dan lahan wilayah titik panas di beberapa wilayah izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman industri IUPHHK-HTI sebagaimana rekaman data satelit MODIS pada periode bulan Februari 2014 hingga November 2014, salah satu wilayahnya merupakan milik PT Bumi Mekar Hijau perusahaan di bidang Hutan Tanaman Industri yang izin kegiatan usahanya berdasarkan IUPHHK-HTI dari Menteri Kehutanan Republik Indonesia serta ditetapkan wilayah IUPHHK-HTI tersebut melalui proses lelang atas wilayah kawasan hutan yang tidak produktif/terdegredasi sangat parah sebagai dampak dari kebakaran besar pada tahun 1977/1978, namun disini PT Bumi Mekar Hijau di indikasikan sengaja membuka lahan dengan cara membakarnya. Bahwa laporan dan data hotspot serta informasi tersebut dijadikan landasan bagi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK melalui Deputi MENLH Bidang Penataan Hukum Lingkungam untuk membentuk dan menugaskan suatu tim Lapangan, setelah dilakukan pengamatan dan verifikasi lapangan ground checking di lokasi dimana titik-titik panas hotspot tersebut terlihat, yaitu di Distrik Simpang Tiga dan Distrik Sungai Beyuku I masing-masing pada tanggal 22-23 Oktober 2014 dan 17 Desember 2014 yang bertujuan untuk mengetahui apakah telah 3 terjadi kebakaran lahan tepatnya pada lokasi PT Bumi Mekar Hijau dan kemudian menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hiup yang mengakibatka kerugian lingkungan hidup. Senyatanya berdasarkan hasil penelitian anggota Tim Lapangan yakni Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo disimpulkan bahwa tanaman akasia terbakar baik pada Distrik Simpang Tiga maupun Beyuku, pergerakan hotspot yang terus bergerak dari hari ke hari baik yang melanjutkan hotspot sebelumnya maupun timbulnya hotspot baru di lain petak. Berdasarkan Fakta Tergugat senyatanya diduga sengaja membakar lahan dengan tujuan membuka lahan dengan biaya murah dan cara cepat terlihat dengan adanya sumber penyululutan yang berasal dari areal tergugat dimana hal tersebut dipastikan adanya hotspot titik panas di dalam areal tersebut yang terditeksi sejak bulan Februari 2014 serta fakta ditemukannya lahan bekas terbakar di Distrik Sungai Biyuku, berisikan tanaman akasia yang terbakar dan sudah di panen/ditebang tapi belum sempat ditarik keluar. Menurut Dr. Ir. Basuki Wasis, yang telah melakukan pengecekan lapangan ground check serta analisis laboratorium atas tana di bekas kebakaran, dimana terjadi kerusakan lahan gambut atau lahan basah akibat pembiaran kebakaran di lokasi PT Bumi Mekar Hijau dengan luas Hektar. PT Bumi Mekar Hijau diduga membiarkan lahannya terbakar, ditandai dengan tidak memadainya sarana, prasarana, SOP dan petugas untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran sehingga tidak memadai 4 pula upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran sebagaimana dibuktikan dengan fakta-fakta setelah adanya kebakaran. Lahan gambut itu sendiri berdasarkan Keputusan Presiden No, 32 Tahun 1990 tanggal 25 Juli 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung tanah gambut dengan ketebalan 3 tiga meter atau lebih ditetapkan sebagai kawasan lindung Vide Pasal 4 jucto Pasal 9 dan 10 Keppres No. 32 Tahun 1990. Akibat lebih lanjut dari adanya pencemaran udara dan kerusakan tanah gambut telah mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Namun terjadi perdebatan diantara kedua pihak yaitu Penggugat dan Tergugat dimana diperkirakan Tanah tersebut tidak hanya merupakan lahan gambut tetapi juga terdapat lahan mineral. Bahwa setelah Penggugat melakukan penelusuran terhadap adanya dugaan perusakan terhadap tanah dan/atau lahan gambut maka Penggugat menyatakan bahwa perbuatan PT Bumi Mekar Hijau telah memenuhi kualifikasi perbuatan melanggar hukum onrechtmatige daad sebagaimana Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup dikarenakan tidak melakukan kewajiban hukumnya untuk mencegah dan menangglangi kebakaran sehingga menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup dalam hal ini tanah gambut. Selanjutnya Penggugat mengajukan surat gugatan tanggal 3 Februari 2015 yang serta dibacakan di dalam Persidangan. Sebelum itu Majelis Hakim telah mengupayakan perdamaian diantara para pihak melalui mediasi sebagaimana ditur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dengan menunjuk S. Joko Sungkowo, S,H. Hakim 5 Pengadilan Negeri Palembang sebagai Mediator, namun berdasarkan Laporan Mediator tanggal 29 Apriil 2015 upaya perdamaian tidak berhasil, Sehingga pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan. Setelah menjalani proses pemeriksaan di muka sidang dari mulai pembacaan gugatan, jawaban gugatan, replik, duplik, putusan sela, pemeriksaaan alat bukti, pemeriksaan saksi ahli baik penggugat maupun tergugat, dan kesimpulan. Maka Majeis Hakim tingkat pertama dengan intuisinya membenarkan bahwa benar telah terjadi kebakaran lahan di Distrik Simpang Tiga dan Distrik Sungai Biyuku wilayah konsensi PT Bumi Mekar Hijau namun pada pertimbangannya Tergugat telah menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, tidak ditemukannya hubungan kausalitas sehingga klausul antara kesalahan dan kerugian tidak terpenuhi sebagaimana unsur Pasal 1365 KUHPerdata, dan tidak ditemukannya kerugian ekologis, tidak terjadi kepunahan atau kerusakan sifat biologis tanah. Pada hari Senin tanggal 28 Desember 2015, Majelis Hakim Pengaadilan Negeri Palembang yang memeriksa dan mengadilili perkara perdata dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan yakni Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 24/ Plg dengan amar sebagai berikut Dalam Provisi - Menolak tuntutan provisi Penggugat; Dalam Ekspesi 6 - Menolak eksepsi Tergugat; Dalam Pokok Perkara - Menolak gugatan Penggugat seluruhnya; - Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang sampai hari ini ditetapkan sejumlah sepuluh juta dua ratus lima puluh satu ribu rupiah Atas putusan Pengadilan Negeri Palembang tersebut, Penggugat telah mengajukan upaya hukum banding. Pada tahap banding, setelah Majelis Hakim tingkat banding membanca dan mempertimbangkan segala prosedur banding, alasan banding dan melakukan pemeriksaan terhadap pokok perkara, maka dijatuhkanlah putusan yakni Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No. 51/PDT/2016/ pada tanggal 10 Agustus 2016 dengan amar lengkap sebagai berikut MENGADILI - Menerima permohonan banding dari Penggugat/Pembanding; - Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 24/ tanggal 30 Desember 2015, yang dimohonkan banding tersebut dan MENGADILI SENDIRI DALAM PROVISI - Menolak tuntuan provisi Penggugat/Pembanding; 7 DALAM EKSPEPSI - Menolak Eksepsi Tergugat/Terbanding; DALAM POKOK PERKARA 1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat/Pembanding untuk sebagian; 2. Menyatakan Tergugat/Terbanding telah melakukan perbuatan melawan hukum; 3. Menghukum Tergugat/Terbanding untuk membayar gantirugi sebesar Rp. tujuh puluh delapan milyar limaratus dua juta limaratus ribu rupiah kepada Penggugat/Pembanding melalui rekening Kas Negara; 4. Menghukum Tergugat/Terbanding untung mebayar biaya perkara ini dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding sebesar sertus lima puluh ribu rupiah; 5. Menolak gugatan Penggugat/Pembanding untuk selebihnya B. Fokus Permasalahan Berdasarkan latar belakang pemilihan kasus dan kasus posisi diatas, permasalahan hukum yang akan diangkat adalah sebagai berikut 1. Bagaimana pertanggungjawaban suatu perusahaan dalam hal ganti kerugian terhadap kebakaran lahan miliknya sebagaimana diputus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No. 51/PDT/2016/ 8 2. Apakah hakim telah melakukan perluasan implementasi doktrin stricliability dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No. 51/PDT/2016/ C. Tinjauan Teoritik 1. Pengertian Hukum Perdata a. Pengertian Hukum Menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4, dikatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Landasan mengenai negara hukum dapat ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum UUD 1945 mengenai sistem pemerintahan negara, yaitu 1 Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas negara hukum rechstaat. Negara Indonesia berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka machtstaat. Kemudian, 2 Indonesia menganut Sistem Konstitusional, yakni pemerintah berdasarkan sistem konstitusi hukum dasar tidak bersifat absolutisme kekuasaan yang tidak terbatas. Dengan demikian, seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus berdasarkan pada norma-norma hukum. Artinya adalah hukum harus dijadikan sebagai jalan keluar dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan perorangan maupun kelompok, baik masyarakat maupun negara. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum adalah Lihat Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 9 keseluruhan kaidah dan asas yang tidak hanya mengatur melainkan juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam pengertian tersebut, terdapat 4 empat unsur penting, yakni asas, kaidah, proses, dan lembaga. Asas dan kaidah menggambarkan hukum sebagai gejala normative yang diimplementasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Kemudian, asas erat kaitannya dengan keadilan, sementara kaidah berarti pedoman untuk bertindak yang berarti normatif. Selanjutnya, lembaga dan proses menggambarkan hukum sebagai gejala sosial yang juga mencerminkan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Fungsi hukum yang terpenting adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan manusia di dalam dari keteraturan tersebut akan tercipta kepastian hukum dan ketertiban dalam masyarakat. Fungsi sebagaimana dijelaskan di atas sama dengan tujuan hukum. Tujuan hukum adalah terpelihara dan terjaminnya keteraturan, kepastian dan ketertiban sehingga terciptalah kehidupan manusia yang Pengertian Hukum Perdata Dalam memahami hukum perdata dapat dilihat berdasarkan definsi para ahli berikut 1. Prof. Subekti Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung Alumni, 2006, Ibid., hlm. 7 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung PT Alumni, 2013, hlm. 49 Ibid., hlm. 50 10 Pengertian Hukum Perdata menurut Prof. Subekti adalah segala hukum private materiil yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. 2. Prof. Sudikno Mertokusumo Pengertian Hukum Perdata menurut Prof. Sudikno Mertokusumo adalah keseluruhan peraturan yang mempelajari mengenai hubungan antara orang yang satu dengan yang lainnya dalam hubungan keluargan dan dalam pergaulan masyarakat. Hukum perdata menjadi lingkup hukum yang bersifat privat karena bertaut pada hubungan yang terbatas tidak berkaitan dengan kepentingan umum. Namun, dalam hubungan antara lingkup perdata dengan kajian ilmu hukum lingkungan tentunya memiliki keterkaitan. Yang mana difokuskan pada subjek hukum yang terkait dengan pengelolaan lingkungan, dengan demikian dalam penyelesaian hukumnya perdata berperan mengatur keterikatan antar para pihak sebagai subjek hukum. Tentunya hal tersebut juga didasarkan pada kenyataan bahwa “lingkungan” bukanlah subjek hukum, sehingga perlunya pihak yang mewakilkan secara public maupun privat mengikuti kepentingan yang ada. 11 2. Pengertian Hukum Lingkungan Istilah mengenai hukum lingkungan adalah merupakan konsepsi yang relatif masih baru dalam dunia keilmuan pada umumnya dan dalam lingkungan ilmu hukum pada khususnya, ia tumbuh sejalan bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran akan lingkungan. Dengan tumbuhnya pengertian dan kesadaran untuk melindungi dan memelihara lingkungan hidup, maka tumbuh pula perhatian hukum kepadanya hingga menyebabkan tumbuh dan berkembangnya cabang hukum baru yang disebut hukum Munadjat Danusaputro mengutarakan pendapatnya dengan tidak memberikan pengertian hukum lingkungan secara langsung, tetapi lebih memilih membedakan hukum lingkungan dalam 2 dua bentuk yakni hukum llingkungan modern dadn hukum lingkungan klasik. Setelah membedakan antara hukum lingkungan modern dan hukum lingkungan klasik, maka beliau barulah memberikan pengertian antara keduanya. Adapun maksud dari hukum lingkungan modern diartikan sebagai aturan hukum yang menetapkan ketentuan-ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang. Sedangkan, hukumlingkungan klasik adalah Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku I, Bandung Bina Cipta, 1980, Op. Cit., hlm. 67 Munadjat Danussaputro, Op. Cit., hlm. 35-36 12 aturan hukum yang menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang Teori Tanggung Jawab Hukum Perusahaan a. Pengertian Tanggung Jawab Hukum Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahas Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, apabila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan dan sebagainy. Pembebanan atas akibat dari perbuatan atau sikap pihak sendiri atau pihak Sugeng Isanto tanggung jawab adalah kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin telah ditimbulkan. Ridwan Halim mengartikan tanggung jawab hukum sebagai suatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban maupun kekuasaan. Sedangkan secara umum, Ridwan Halimm melihat tanggung jawab hukum sebagai sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan pernan, baik pernanan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Sedangkan secara umum, Ridwan Halim melihat tanggung jawab hukum sebagai kewajuban untuk melakukan Ibid. 35-36 Poerwadamita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1976, hlm. 1014 13 sesuatu atau berperliaku menurut cara tertentu yang tidak menyimpang dari peraturan yang telah hukum perdata setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum maka harus dipertanggungjawabakan sebesar kerugian yang diderita oleh pihak lain. Sistem hukum perdata di Indonesia banya diwarnai oleh sistem Comman Law. Menurut sistem ini, suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang karenannya menimbulkan kerugian pada pihak lain, akan mewajibkan si pembuat kesalahan bertanggung jawab b. Konsep Tanggung Jawab Hukum Tanggung jawab hukum dalam bidang perdata diuraikan menjadi beberapa jenis konsep atau dokrin yang diuraikan sebagai berikut 1. Tannggung Jawab Berdasarkan Kesalahan Liability Based On Fault Konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan mengandung makna bahwa tergugat bertaggung jawab apabila tergugat dapat dibuktikan bersalah oleh penggugat. Apabila tergugat dapat dibuktikan bersalah, maka tergugat bebas dari semua pertanggunhjawaban yang dimintakan oleh penggugat. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata konsep tanggung jawab berdasarkan kesalahan Liabilitu Based on Fault tertuang dalam Pasal 1365 tentang perbuatan melawan hukum. Konsep tanggung jawab hukum berdasarkan kesalahan didasarkan pada adagium bahwa tidak ada pertanggunjawaban Khairunnisa, Kedudukan, Peran, dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Medan Pasca Sarjana, 2008, hlm. 4 14 apabila tidak ada unsur kesalahan. Adapun unsur-unsur perbuatan melawan hukum menurut ketentuan Pasal 1365 KUHPer adalah a Adanya suatu perbuatan; Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh perbuatan pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan melakukan perbuatan dimaksud dengan berbuat sesuatu aktif maupun tidak berbuat sesuatu pasif. Misalnya tidak berbuat sesuatu padahal dia berkewajiban untuk membantunya, kewajiban yang mana timbul dari hukum yang berlaku karena ada kewajiban yang timbul dari kontrak. Karena terhadap perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat dan tidak ada juga unsur kausa yang diperbolehkan sebagaimana yang terdapat dalam perbuatan yang dimaksud dalam PAsal 1365 KUHPerdata mencakup dua pengertian yang terdiri dari perbuatan dengan segi positif yang artinya perbuatan itu dilakukan oleh seseorang dengan sengaja dan perbuatan tersebut menimbiulkan akibat yang merugikan bagi orang lain dan segi negative yang artinya tidak melakukan suatu perbuatan sedangkan menurut hukum hlm. 185 15 orang tersebut harus melakukan tindakan dan akibat yang dapat merugikan orang lainb Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum; Untuk dapat dikenai perbuatan melawan hukum maka asuatu perbuatan yang dilakukan harus bersifat melawan hukum, dimana sejak putusan Hooge Raad tanggal 31 Januari 1919 konsep perbuatan melawan hukum telah berkembang dan diartikan dalam arti yang luas, tidak hanya terbatas pada kaedah hukum tertulis saja, yaitu hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Selain perbuatan yang melanggar undang-undang, sesuatu perbuatan dapat dikatakan melawan hukum apabila melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, bertentangan dengan kesuilaan yang baik, dan bertentangan dengan keharusan dan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masayrakat mengenai orang lain atau Terdapat kesalahan pada pelaku; Untuk dapat dipintakan pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan seseorang, menurut hukum perdata, seseorang dikatakakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa dia telah melakukan/tidak melakukan suatu perbuaan yang MA. Moegni Djododirjo, Perbuatan Melawan Hukum, VOlmar, Pengantar Studi Hukum perdata, Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 117. 16 seharusnya dihadirkan. Perbuatan yang seharusnya dilakuka/tidak dilakukan itu tidak terlepas dari pada dapat atau tidaknya hal-hal itu dikira-kira. Dapat dikira-kira haur diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngira dalam keadaan tertentu perbuatans seharusnya dilakukan/tidak dilakukan. Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum tersebut, undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar para peaku harus mengandung unsur kesalahan dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggung jawab tanpa kesalahan strict liability tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan kepada Pasal 1365 KUHPerdata. Jikapun dalam hal tertentu diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalah tersebut, hal tersebut tidak didasari Pasal 1365 KUHPErdata tetapi didasari kepada undang-undang Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya untur kesalahan dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu diketahui bagaimana cakupan dari unsur kesalahn tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sheingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur kesengajaan, ada kelalaian, dan Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, hlm. 147 Achmad Ichsan, Hukum Perdata, Jakarta PT Pembimbing masa, 1969, hlm 11 17 tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf, seprti keadaan overmacht, membela diri, tidak warasm dll. d Timbul kerugian; Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi kroban. Namun bentuk ganti rugi atas perbuatan melawan hukum tersebut tidak ditentukan secara tegas oleh undang-udang. Adapun kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian materil dan Terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian Hubungan kasual atau hubungan sebab akibat dipakai untuk menentukan apakah ada pertalian antara suatu perbuatan hukum dengan kerugian, sehingga orang yang melakukan perbuatan tersebut dapat dimintai pertanggungjawabannya. Yang dimaksud dengan sebab adalah sesuatu yang dapat bekerja menimbulkan perubaham, yang telah menimbulkan akibat. Dalam hukum pidana pentingnya ajran kausalitas ini adalah untu menentukan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap timbulnya suatu akibat dalam bidang hukum perdata ajaran kausalitas digunakan untuk meneliti apakah ada hubungan kausal atara perbuatan melawan Dr. Munir Fuandy, Perbuatan Melawan Hukumm Pendekatan Kontemporer, BanudngL PT Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 13 18 hukumd an kerugian yang ditimbulkan pelaku sehingga si pelaku dapat dimintai pertanggungjawabannya Ajaran kausalitas tentang persoalan apakah terdapat hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian terdapat beberapa teori, yaitu i. Teori condition sine qua non dari Von buri Pada teori ini yang dilihat adalah bahwa setiap masalah yang merupakan syarakat untuk timbulnya suatu akiat adalah menjadi sebab dari Teori adequate dari Von Kries Pada teori ini perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab akibat dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat. Dasar untuk menentukan perbyatan yang seimbang adalah perhitungan yang layak, sehingga menurut teori ini digunakan keriteria kemungkinan terbesar2. Tanggung Jawab Tanpa Ada Kesalahan Strict Liability Pengertian Strict Liability Konesp atau doktrin strict liability menurut Ida Bagus Wyasa Putra menunjuk pada peristiwa hukum yang menggambarkan hubungan antara perbuatan pelaku dengan akibatnya, kewajiban pembuktian terhadap korelasi antara perbuatan dengan akibat perbuatan itu tidak dilakukan oleh pihak penggugat, melainkan oleh tergugat proses pembuktian Moegni Djofjodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, hlm. 83 Ibid Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Huku, hlm. 82-83 19 dengan beban pembuktian terbalik. Konsep Strict liability mulai dikenal berawal dari sebuah kasus di Inggris, yaitu kasus Rylands vs Fletchter 1868. Selanjutnya tanggung jawab mutlak diterapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional dan konvensi-konvensi liability telah diterapkan dalam Konvensi Paris 1960 tentang Kapal Nuklir, Konvensi Roma 1952 tentang Tanggung Jawab Terhadap Pihak Ketiga di Permukaaan Bumi, Monteal Aggrement of 1966, Protokol Guantemala 1971, Liability Convention of 1972 tentang Tanggung Jawab Internasional Peluncuran Benda-Benda Angkasa. Konsep atau doktrin strict liability merupakan tanggung jawab yang diterapkan untuk kasus-kasus yang digolongkan sebagai extrahazardous atau abnormally dangerous activities, Konsep atau doktrin ini dapat membantu menangani kasus-kasus yang berbahaya bagi lingkungan dan juga diirigi dengan pembebanan pembuktian terbalik, sehingga tanggung jawab ini muncul seketika tanpa melihat kesalahan tergugat, hal ini dilakukan untuk mencegah bahaya dan kerugian. Penerapan Tanggung Jawab Mutlak Strict Liablity di Indonesia Dr. Muhammad Akiba, Hukum Lingkungan Perspektif Gloal dan Nasional, JakartaPT Raja Grafindo Persada, 2014, Federick, J, Pinukunary, Mengkaji Gugatan PMH dalam Kasus Perusakan Lingkungan di Porong, Sidoarjo, www. diakses pada tanggal 23 September 2019, pukul WIB 20 Pada awalnya konsep tanggungjawab mutlak ini diperkenalkan melalui ratifikasi atas Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage CLC tahun 1969 oleh Keputusan Presiden Tahun 1978. Dan kemudian dirumuskan ke dalam UU Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah dua kali direvisi hingga yang saat ini berlaku, serta UU Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UU Lingkungan Hidup juga memuat soal strict liability. Adapun mengenai konsespsi tanggung jawab mutlak ini dicantumkan dalam Pasal 88 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang PPLH Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang mana pengertian lebih lanjut pasal tersebut, diuraikan dalam bagian penjelasan “Yang dimaksud dengan „bertanggung jawab mutlak‟ atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.” Berdasarkan penjelasan makna pasal 88 UU PPLH tersebut, maka gugatan apapun yang berkaitan dengan „ganti rugi‟ dan „perbuatan melawan hukum‟ bukan didasarkan pada pembuktian 21 kesalahan oleh penggugat. Melainkan menjadi tanggungjawab tergugat untuk dibuktikan di pengadilan. Dalam kenyataannya masih banyak kekeliruan dalam pemahaman dan penerapan konsep tanggungjawab mutlak. Yang mana pada penerapannya, banyak praktisi hukum yang menggabungkan gugatan strict liability dan PMH secara bersamaan, sebagaimana yang dituturkan oleh Dr. Andri G. Wibisana, LL. M. dalam acara peluncuran buku berjudul “Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata” karangan Dr. Andri G. Wibisana, Dosen Hukum Lingkungan FHUI.3. Tanggung Jawab Mutlak Absolute Liability Pada dasarnya konsep atau doktrin tanggung jawab multak absolute liability ini sebenarnya hampir sama dan mirip dengan konsep strict liability. Ahli Hukum, E. Saefullah Wirapradja menyamakan konsep absolute liability dengan konsep strict liability dengan mendefinisikannya dengan tanggung jawab yang ada tanpa keharusan untuk membuktikan adanya keaslahan atau dengan kata lain adalah konsep tanggung jawab yang memandang keasalahan sebaga suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan ada atau ada juga yang membedakan absolute liability dengan strict liability melalui kriteria sebagai berikut Winda Ayu A., Penerapan “Strict Liability” dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, diakses melalui pada 23 September 2019, pukul 1725 WIB. Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung jawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung Utomo, 2004, hlm. 89 22 a Pada strict liability masih berlaku alasan pemaaf yaitu apabila terjadi kerusakan akibat dari bencana alam atau force majure, dan tindakan dari pihak ketiga. Pada strict liability pembatas tanggung jawab dimungkinkan dengan jumlah maksimum ganti rugi plafond atau ceiling. b Pada absolute liability tidak mengenal alasan pemaaf, batas maksimum ganti rugi juga tidak diperkanankan karena semua kurgian yang timbul menjadi tanggung jawab tergugat. Menurut James Krier, doktrin pertanggungjawaban mutlak merupakan banuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena banyak kegaitan-kegaiatan yang menimbulkan kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan berbahaya untuk mana dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan tanggung jawab tanpa menurut Lummert, konsep tanggung jawab mutlak diartikan terutama sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utama asas tanggung jawab mutlak adalah tidak adanya jauh menurut Binceng, absolute liability akan timbul kapan saja dan keadaan yang menimbulkan tanggung SIahaan, Hukum Lingkugan dan Ekologi Pembangunan, hlm. 315 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, edisi XIII, cet XIX, Jogjakarta Gadjarh Mada University Press, 2006, hlm. 412 23 jawab tersebut ada tanpa mempersalahkan oleh siapa atau bagaimana terjadinya kerugian. Jadi absolute liability adalah hubungan kausalitas antara orang yang bertanggung jawab dan kerugian tidak Asas Kehati-hatian precautionary principle Pada dasarnya precautionary principle merupakan turunan atas prinsip pembangunan berkelajutan sustainable development yang dihasilkan melalui Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janiero 1992. Yang mana prinsip kehati-hatian ini memuat bahwa “apabila terdapat suatu ancaman terhadap lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, maka ketiadaan temuan atau pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.” Mengingat pada konsep prinsip kehati-hatian, maka akan sering dijumpai dalam kaitannya dengan teori pertanggungjawaban liability. Hal ini dikarenakan bahwa prinsip kehati-hatian terbagi menjadi empat unsur Ambang batas kerusakan threshold / irreversibility  Ketidak pastian uncertainty  Tindakan-tindakan yang dilakukan measures to be taken  Ukuran Perintah command dimension Adapun dalam Putusan Kasus Mandalawangi, berkembanglah pandangan bahwa kemunculan precautionary principle menjadi bagian yang menyempurnakan rumusan formula yang menghasilkan konsep strict liability. Ibid Imammulhadi, Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Precautionary dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Mimbar Hukum Volume 25, nomor 3, Oktober 2013, hlm. 428. Fajri Fadhilah, Asas Kehati-hatian dalam Hukum Lingkungan Indonesia Studi Kasus Putusan PTUN Jakarta Terkait Izin Penempatan Tailing Di Dasar Laut Oleh PT. Newmont Nusa Tenggara, FH Universitas Indonesia, diakses melalui pada 23 September 2019, pukul WIB. 24 5. Putusan Hakim dan Penemuan Hukum a. Putusan Hakim Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau masalah antar pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan tertulis tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim. Putusan akhir dalam suatu sengketa yang diputuskan oleh hakim yang memeriksa dalam persidangan umumnya mengandung sangsi berupa hukuman terhadap pihak yang dikalahkan dalam suatu persidangan di pengadilan. Sanksi hukuman ini baik dalam Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana pelaksanaannya dapat dipaksakan kepada para pelanggar hak tanpa pandang bulu, hanya saja bedanya dalam Hukum Acara Perdata hukumannya berupa pemenuhan prestasi dan atau pemberian ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan atau yang dimenangkan dalam persidangan pengadilan dalam suatu sengketa, Sedangkan dalam Hukum Acara Pidana umumnya Andri Wibisana, Pertanggungjawaban Perdata, Kausalitas, dan Alasan Pembelaan, Makalah, Disampaikan pada Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, Bogor PUSDIKLAT MA, 8 April 2016, hlm. 4. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ketujuh, Yogyakarta Liberty, hlm. 115 25 hukumannya penjara dan atau Penemuan Hukum Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkret. Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum das Sollen yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret das Sein tertentu. Hakim selalu akan dihadapkan pada peristiwa konkret, konflik, atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Maka dari itu, dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa hukum merupakan karya manusia dan ini berarti antara lain bahwa setiap penerapan hukum selalu didahului oleh seleksi subjektif mengenai peristiwa-peristiwa dan peraturan-peraturan yang relevan. Selanjutnya, penerapan sendiri selalu berarti merumus-ulang suatu peraturan abstrak untuk peristiwa konkret. Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum pada umumnya dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang. Akan tetapi, dalam kenyataanya problematik penemuan hukum ini tidak hanya berperan pada kegiatan hakim dan pembentuk undang-undang saja. Berbagai pihak juga melakukan penemuan hukum. Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Jakarta Sinar Grafika, 2011, hlm. 90 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Yogyakarta Cahaya Atma Pustaka, 2014, hlm. 51 26 D. Peraturan Perundang-Undangan Terkait 1. Pengaturan mengenai Tanggung Jawab Perusahaan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365 yang menyatakan “setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan menimbulkan kerugian itu, harus mengganti kerugian tersebut” Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini merupakan pengejawantaha dari prinsip tanggung jawab yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pembuktian atas kesalahan atau kelalaian tergygat yang menyebabkan adanya kerugian. Kembali melihat ke dalam Pasal 1365 KUHPerdata dapat ditarik unsur-unsur yang ada di dalam pasal tersebut untuk menentukan ada tidaknya suatu perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan atau biasa dikenal dengan ada tidaknya suatu perbuatan melawan hukum. Adapun unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut 1. Adanya Perbuatan 2. Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum 3. Terdapatnya kesalahan pada pelaku 4. Timbulnya kerugian 5. Terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum, Bandung Mandar Maju, 2008, hlm. 185 27 Berdasarkan unsur-unsur tersebut diatas, seseorang baru bisa dimintai pertanggungjawaban apabila telah memenuhi empat unsur tersebut. Hal ini sejalan pula dengan adagium tidak ada pertangguungjawaban apabila tidak terdapat unsur kesalahan No Liability Without Fault. 2. Pengaturan Mengenai Konsep atau Doktrin Strict Liability Indonesia menerapkan konsep atau doktrin strict liability pertama kali melalui Keppres Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan Internastional Convention on Civil Liability for Oil Damage CLC maratifikasi konvensi internasional dan memasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang diantaranya adalah a Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia; c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran; d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup perubahan Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Dr, Muhammad Akiba, Hukum Lingkungan Dalam Prespektif Global dan Nasional, Jakarta PT Grafindo, 2014, hlm. 185 28 3. Peraturan mengenai kewajiban penanggung jawab usaha untuk melakukan pencegahan dan penyiapan sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan di lokasi usahanya a. Peraturan Pemerintah Tahun 2001 tentang Pegendalian Kerusahan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan Pasal 13 “Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusahan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya” Pasal 14 “Ayat 1 Penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya Ayat 2 Sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 meliputi 29 a. Sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; b. Alat pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan; c. Prosedur opersi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; d. Perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; e. Pelatihan penanggukangan kebakaran hutan dan atau lahan secara berkala” b. Peraturan Menteri Kehutanan No. 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. c. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. d. Keputusan Menteri Kehutanan No. 97 Tahun 1998 tentang Prosedur Penanganan Krisis Kebakaran Hutan e. Peraturan Dirjen PHPA No. 4 Tahun 2013 tentang Prosedur Tetap Pengendalian Kebakaran Hutan f. Peraturan Dirjen PHPA No. 243 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan di Areal Pengusahaan Hutan dan Areal Penggunaan Lainnya. 30 g. Keputusan Dirjen PHPA No. 246 Tahun 1994 tentang Petunjuk Pembuatan dan Pemasangan Rambu-rambu Kebakaran Hutan. h. Keputusan Dirjen PHPA No. 48 Tahun 1997 tentang Sistem Komandi Pemadam Kebakaran Hutan. 4. Pengaturan mengenai akibat pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup, tanggung jawab pencegahan dan pengendalian melekat pada setiap pelaku kegiatan usaha a. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup b. Pasal 48 ayat 3 Undang-Undang Tahun 1999 tentang Kehutanan 1 …………………………………………………………………… 2 …………………………………………………………………… 3 Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, serta pihak –pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya. c. Pasal 49 Undang-Undang Tahun 1999 tentang Kehutanan “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya” d. Pasal 68 huruf b dan huruf c Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 31 “setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkwajiban a. …………………………………………………………………… 2. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; 3. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.” e. Pasal 69 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar” f. Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 2000 tentang pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa “setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa wajib melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah” g. Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hytan dan atau Lahan “setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya” 32 h. Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan “1 Perlindungan hutan pada hutan hak, dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab pemegang hak 2 Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi kegiatan antara lain a. pencegahan ganggian dari pihak lain yang tidak berhak; b. Pencegahan pemadaman dan penanganan dampak kebakaran; c. Penyediaan personil dan sarana prasarana perlindungan hutan; d. Mempertahankan dan memelihara sumber air; e. Melakukan kerja sama dengan sesama pemilik hutan hak, pengelola kawasan hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin pungutan, dan masyarakat” i. Pasal 30 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan “1 Pemegang izin Pemanfaatan Hutan, Pemagang Izin Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya 2 Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi 33 a. Tangggung jawab pindana; b. Tanggun jawab perdata; c. Membayar ganti rugi; dan/atau administrasi E. Analisis 1. Analisis pertanggungjawaban perdata suatu perusahaan dalam hal ganti kerugian terhadap kebakaran lahan miliknya sebagaimana diputus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No. 51/PDT/2016/ Bahwa Penggugat / Pembanding mengajukan gugatan perdata terhadap perbuatan Tergugat / Terbanding yang berakibat kepada pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, sehingga unsur kerusakan lingkungan harus dibuktikan. Penggugat / Pembanding juga menyatakan bahwa Tergugat / Terbanding wajib bertanggung jawab atas kerusakan tanah gambut yang ditimbulkan oleh kebakaran di atas lahan perkebunan milik Tergugat / Terbanding. Sedangkan menurut Tergugat / Terbanding, dalil dari Penggugat / Pembanding mengenai kerusakan tanah gambut tidak benar karena kenyataannya dibeberapa lahan yang didalilkan terbakar oleh Penggugat / Pembanding telah dilakukan penanaman akasia kembali oleh Tergugat / Terbanding dan menunjukkan bahwa tanaman akasia tersebut tumbuh normal serta senyatanya areal bekas terbakar tidak terjadi kerusakan lahan dan lahan gambut masih berfungsi normal sebagai penyimpanair yang bersifat hidrofilik maupun sebagai medium bagi berbagai proses mikrobiologis yang mendukung kesuburannya. 34 Selanjutnya menurut dalil Penggugat / Pembanding yang mengambil pendapat Dr. Ir BASUKI WASIS, Msi. secara ilmiah terjadi kerusakan lahan gambut atau lahan basah akibat kebakaran tersebut, dan dengan menyandingkan pendapat ahli BASUKI SUMAWINATA dan Dr. GUNAWAN DJAJAKIRANA serta Laporan Kunjungan Lapang lahan bekas kebakaran di tempat Tergugat / Terbanding, disebutkan dari hasil pengamatan lapang dan hasil laboratorium, sebagai scientific evidence tidak ada indikasi bahwa tanah telah rusak dan lahan masih berfungsi dengan baik sesuai dengan peruntukannya sebagai lahan Hutan Tanaman Industri. Bahwa mengenai kerugian Ekologis, kebakaran yang terjadi juga tidak menyebabkan peningkatan pH maupun unsur hara lain seperti Ca, Mg danK secara nyata. Kebakaran yang terjadi memang menurunkan kandungan organik tanah dimana pada tanah mineral yang terbakar melebihi i kandungan C-organik namun disimpulkan tidak terjadi kepunahan/ kerusakan sifat biologis tanah, sebagaimana keterangan ahli Dr. Ir. BASUKI SUMAWINATA dan Dr. Ir. GUNAWAN DJAJAKIRAN Dari hasil sidang pemeriksaan juga ditemukan dengan jelas bahwa di tempat di atas bekas lahan yang terbakar tersebut tanaman akasia dapat tumbuh kembali secara baik, Bahwa apabila disimak secara cermat hal – hal tersebut di atas, jelaslah akan terlihat bahwa dalil Penggugat / Pembanding tentang kerusakan lingkungan / tanah gambut yang diakibatkan kebakaran / kerusakan tidak terbukti sehingga keberatan – keberatan yang diajukan oleh Tergugat / Terbanding mengenai dalil 35 Penggugat / Pembanding tentang kerusakan lingkungan / tanah gambut yang diakibatkan kebakaran / kerusakan dapat diterima. Bahwa mengenai Perbuatan Melawan Hukum yang digugat oleh Penggugat / Pembanding kepada Tergugat / Terbanding dalam perkara ini, Hakim Ketua Majelis sependapat dengan pendapat Ahli yang diajukan Penggugat / Pembanding dalam hal ini Dr. H. ATJA SONJAYA, yang menyampaikan bahwa dalam pertanggung jawaban mutlak Penggugat tidak perlu membuktikan bahwa itu merupakan kesalahan, tetapi Tergugat juga diberi perlindungan untuk memberi keterangan bahwa itu bukan merupakan perbuatannya karena merupakan force majore. Bahwa dalam hal mentukan kelalaian ada unsur sengaja atau lalai, tetapi dalam hal force majore bukan karena kesalahan tetapi karena kejadian diluar kemampuan manusia yang tidak mungkin untuk menghindar,sehingga pertanggung jawabannya tidak bisa dibebankan kepada seseorang. Bahwa apabila pelaku usaha sudah menyediakan sarana dan prasarana yang telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terjadi kebakaran bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum yang tidak mungkin untuk menghindar,sehingga pertanggung jawabannya tidak bisa dibebankan kepada seseorang. Bahwa apabila pelaku usaha sudah menyediakan sarana dan prasarana yang telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terjadi kebakaran bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum. Bahwa dari keterangan saksi-saksi dan ahli bahwa periode terjadi kebakaran terutama bulan September dan Oktober 2014 pada waktu itu jumlah hujan dan hari hujan sangat rendah menyebabkan daerah ini dalam kondisi kering, 36 berdampak pada meningkatnya potensi kebakaran, penyebaran api cepat meluas karena dinamika angin, persebaran udara panas bercampur dengan udara yang belum panas/ turbulensi, sehingga sulit diprediksi dan tidak dapat dikendalikan, termasuk oleh sekat bakar dan kanal. Bahwa pihak Tergugat / Terbanding sudah berusaha untuk melakukan pemadaman api di wilayah kebakaran, akan tetapi berdasarkan keterangan saksi saksi antara lain SUJICA WANAKUSUMAH LUSAKASaksi dari Tergugat / Terbanding bahwa penyebaran api begitu cepat dan meluas, Tergugat / Terbanding juga telah mengambil langkah melakukan pemadaman dengan personil pemadam kebakaran yang ada di PT. Bumi Mekar Hijau dan telah melakukan pelaporan ke pihak yang berwajib sesuai Laporan polisi tanggal 8 September 2014 ke Polsek Tulung Selapan, saksi MAKMUNSaksi dari Penggugat / Pembanding telah memberikan keterangan bahwa kebakaran berasal dari lahan masyarakat, namun penyebabnya tidak tahu, disamping itu kebiasaan masyarakat setempat yang berbatasan dengan wilayah konsesi Tergugat / Terbanding pada musim kemarau sering membakar belukar dan tanaman gelam/sistem sonor untuk menam padi. Dengan melihat poin – poin sebelumnya, telah terbukti bahwa Tergugat / Terbanding bukan merupakan pelaku yang sengaja menyebabkan kebakaran, juga telah terbukti bahwa Tergugat / Terbanding sudah menyediakan sarana prasarana pengendalian kebakaran yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga menurut Hakim Ketua Majelis Tergugat / Terbanding tidak dapat dikenakan dengan pelanggaran pasal 87 Undang-undang Nomor 32 37 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juncto. Pasal 88 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan / Terbanding juga tidak terbukti melakukan pelanggaran atas Pasal 1365 KUH Perdata karena tidak terpenuhinya syarat-syarat perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang pertama adalah berbuat atau tidak berbuat. Unsur kedua, berbuat atau tidak berbuat itu menimbulkan kerugian ketiga, kerugian itu terjadi karena kesalahannya serta keempat antara kerugian dan kesalahan itu harus ada hubungan kausal dimana Tergugat / Terbanding tidak terbukti melakukan perbuatan yang menyebabkan kebakaran dan atau lalai dalam menyediakan sarana prasarana pengendalian kebakaran dan atau membiarkan kebakaran terjadi dan justru Tergugat / Terbanding lah yang mengalami kerugian dengan adanya kebakaran. Dalam penjelasan sebelumnya telah dijelaskan kemungkinan kemungkinan yang digunakan untuk kasus kebakaran hutan. Pertama dalah Perbuatan Melawan Hukum. Sebagaimana dalam Pasal 1365 KUHPerdata atau Pasal 87 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam pertanggungjawaban PMH penggugat perlu membuktikan beberapa unsur. Pertama, harus dibuktikan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Pelanggaran hukum ini dapat ditujukkan dengan berbagai cara. Pada satu sisi, penggugat misalnya dapat menunjukkan adanya pelanggaran terhadap kewajiban hukum tergugat. Dalam hal ini, kewajiban tersebut terutama terkait 38 pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan atau lahan. Pada sisi lain, apabila memungkinkan pelanggaran hukum ini dapat pula ditujukkan denga adanya kegiatan pembakaran hutan/lahan dalam rangka pembukaan atau pengelolaan hutan/lahan. Dapat dianalisis bahwa penggugat sendiri sebenarnya akan mengalami kesulitan yang lebih besar untuk membuktikan adanya pelanggaran terhadap larangan yaitu adanya kegiatan pembakaran, dibandingkan dengan kesulitan untuk membuktikan adanya pelanggaran kewajibann yaitu adanya kegagalan untuk melakukan pencegahan atau penanggulangan kebakaran Sebagaimana Pandangan yang dikemukakan oleh Agustina pada saat mendiskusikan pandangan Vollmar mengenai kesalahan secara subjektif dan secara objektif, yang mana apabila diaritkan sebagai kesalahan secara objektif maka kesalahan dianggap ada apabila pelaku melakukan perbuatan secara lain dari apa yang seharusnya ia lakukan. Dalam hall ini “kesalahan dan sifat melawan hukum menjadi satu”, dirasa penerapan pembuktian secara subjektif dalam PMH tidak tepat dibandingkan secara objektif, dikarenakan kesalahan telah terbukti dengan terbuktinya perbuatan yang melanggar hukum. Apabila pada satu sisi pembuktian unsur kesalahan secara objektif dianggap sulit karena informasi terkait hal ini hanya dikuasai oleh tergugat, sedangkan pada dsisi lain kerugian dianggap hanya akan timbul karena adanya kesalahan, maka hakim sebenernya dapat mengadopsi res ipsa liquitur atau pembuktian secara terbalik yang dilakukan oleh Terugat dimana ia harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan. 39 Kedua, penggugat perlu membuktikan adanya kerugian. Khusus untuk besaran kerugian lingkungan, merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Peratuan Menter Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2012 tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Gambut, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidupn No. 15 tahun 2012 tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan. Ketiga, penggugat perlu pula membuktikan adanya bukti kausalitas antara kerugian dan kebakaran hutan yang dilakukan oleh tergugat. 2. Analisis hakim telah menerapkan perluasan implementasi doktrin stricliability dalam Putusan Pengadilan Tinggi Palembang No. 51/PDT/2016/ Majelis Hakim Tingkat pertama sneyatanya telah keliru dalam menilai fakta yang terungkap di persidangan maupun dalam kesimpulan penerapan hukumnya, khususnya mengenai dinyatakan gugatan Penggugat/Pembanding ditolak dengan pertimbangan bahwa Tergugat tidak terbukti melakukan Perbuatan Melawan Hukum dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang tidak mempertimbangkan bahwa perkara gugatann Pencemaran Lingkungan Hidup haruslah ditangani secara khusus. Senyatanya dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Palembang telah mendasarkan pertimbangan tidak semata-mata pada Perbuatan Melawan Hukum, tetapi juga pada tanggung jawab mutlak 40 strict liability. Teori tersebut mengisyaraktkan bahwa, seseorang yang kegiatan usahanya menimbulkan ancaman serius terhadap linglungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang muncul dari kegiatan tersebut, meskipun orang tersebut tidak melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Dengan demikian, di dalam tanggung jawab mutlak strict liability, tidak terpenuhinya unsur melawan hukum tidaklah melepaskan Tergugat/Terbanding dari tanggung jawab perdata. Serta berpijak pada Surat Keputusan Mahkamah Agung No. 36/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, dalam perkara a quo Seharusnya Berlaku Tanggung Jawab Mutlak strict liability terkait dengan suatu ancaman serius terhadap lingkugan hidup seharusnya berlaku yanggung jawab mutlak. Tergugat disinipun memang membenarkan bahwa lahan di wilayah usaha yang dikuasainya telah terjadi kebakaran yang dampaknya mengakibatkan pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup dan Tergugat/Terbanding mengemukakan bahwa kebakaran itu timbul oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab namun senyatanya disini hakim mempertimbangkan selaku pelaku usaha dimana lahan yang dikuasinya telah terjadi kebakaran yang dampaknya mengakibatkan pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup maka Tergugat/Terbanding harus bertanggung jawab atas Kerusakan Lingkungan Hidup tanggung jawab mutlak/strict liability Merujuk pada Pasal 48 ayat 3 UU No. 41 Tahun 1999, Pasal 49 UU Tahun 1999, Pasal 68 huruf b dan c UU Tahun 2009, Pasal 11 PP No. 150 Tahun 2000, Pasal 13 PP No. 4 Tahun 2001, Pasal 41 10 PP No. 45 Tahun 2004, Pasal 30 PP No. 45 Tahun 2004 yang telah disimpulkan oleh hakim merupakan peraturan yang menyebutkan bahwa kewajiban melekat pada pemegang izin. Intinya pemegang izin pemanfaatan hutan dan pemegang izin pengguna hutan atau pemilik hutan bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan diareal kerjanya dan tidak usah ditanya siapa yang membakar lahan/hutan tersebut. F. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a Senyatanya implementasi prinsip strict liability dalam kasus gugatan ganti rugi akibat adanya kebakaran lahan pada kawaan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman industri IUPHHK-HTI milik PT Bumi Mekar Hijau tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pengelolaaan Lingkungan Hidup, akan tetapi telah sesuai dengan semangat dan tujuan implementasi prinsip strict liability dalam standar internasional, sehingga putusannya telah memenuhi rasa keadilann secara umum. b Putusan telah memberikan hal positif yaitu bagaimana syatu pertanggung jawaban hukum suatu perusahaan dengan merujuk pada Pasal 88 UU No, 32 Tahun 2009. Pertanggung jawaban memanang mensyarakatkan bahwa kegiatan tersebut harus abnormally dangerous. Dalam hal ini, Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa “ancaman serius” adalah “terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dampaknya berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali dan/ atau komponen- 42 komponen lingkungan hidup yang terkena dampak sangat luas, seperti kesehatan manusia, air permukaan, air bawah tanah, tanah, udara, tumbuhan, dan hewan c Bahwa strict liability sudah diterapkan dalam beberapa putusan dan diadopsi di dalam peraturan perundangan-undangan di negara-negara dengan sistem civil law. Dengan demikian keliru pandangan yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban ini tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia yang menganut civil law d Srict liability tidak hanya menghilangkan unsur kesalahan subjektif berupa kesengajaan atau kelalaian dari PMH, tetapi juga unsur kesalahan objektif berupa perbuatan yang melanggar hukum. Dengan demikian, penerapan strict liabiity pada sebuah kasus membawa konsekuensi bahwa di dalam kasus tersebut yang perlu dibuktikan hanyalah adanya kerugian dari penggugat dan kausalitas antara kegiatan tergugat dengan kerugian penggugat. Strict liabiity hanya diterapkan pada kegiatan/usaha yang sangat berbahaya ultra hazardous/ abnormally dangerous activity. Seseorang yang kegiatan/usahanya bersifat sangat berbahaya, bertanggungjawab atas kerugian yang muncul dari kegiatan/usaha tersebut, meskipun dalam melakukan kegiatan/ usahanya ia tidaklah melakukan perbuatan melawan hukum 2. Saran Dalam melakukan penerapan terhadap suatu perbuatan yang merugikan suatu lingkungan senyatanya tidak dapat hanya diterapkan 43 Pasal 1365 KUHPerdata dikarenakan kebakaran merupakan masalah serius yang mengakibatkan ekosistem di dalam suatu hutan akan rusak, dan fungsi dari tanah akan berkurang. Seharusnya hakim lebih cermat dan menganggap bahwa suatu Lingkungan harusnya diterapkannya prinsip kehati-hatian bagi pelaku usaha yang memegang izin. 44 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung Alumni, 2006 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung PT Alumni, 2013 Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku I, Bandung Bina Cipta, 1980 Poerwadamita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1976, hlm. 1014 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Yogyakarta Cahaya Atma Pustaka, 2014 MA. Moegni Djododirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta Pradnyna Paramita, 1979 Volmar, Pengantar Studi Hukum perdata, Jakarta Pradyna Pramita, 2000 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung Citra Bakti, 1992 Achmad Ichsan, Hukum Perdata, Jakarta PT Pembimbing masa, 1969 Munir Fuandy, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, BanudngPT Citra Aditya Bakti, 2005 Muhammad Akiba, Hukum Lingkungan Perspektif Gloal dan Nasional, JakartaPT Raja Grafindo Persada, 2014 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung jawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung Utomo, 2004 SIahaan, Hukum Lingkugan dan Ekologi Pembangunan, Jakarta Erlangga, 2001 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, edisi XIII, cet XIX, Jogjakarta Gadjah Mada University Press, 2006 Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum, Bandung Mandar Maju, 2008 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, Jakarta Sinar Grafika Offset, 2003 45 Sudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ketujuh. Yogyakarta Liberty. Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Toeri dan Praktik. Jakarta Sinar Grafika B. Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 -. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPer C. Jurnal Khairunnisa, Kedudukan, Peran, dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Medan Pasca Sarjana, 2008 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003 D. Internet Federick, J, Pinukunary, Mengkaji Gugatan PMH dalam Kasus Perusakan Lingkungan di Porong, Sidoarjo, www. Winda Ayu A., Penerapan “Strict Liability” dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, diakses melalui Khairunnisa, Kedudukan, Peran, dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Medan Pasca Sarjana, 2008 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003 ResearchGate has not been able to resolve any citations for this DanusaputroMunadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku I, Bandung Bina Cipta, 1980Moegni DjododirjoMA. Moegni Djododirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta Pradnyna Paramita, 1979Hukum Lingkungan Perspektif Gloal dan Nasional, JakartaPT Raja Grafindo PersadaMuhammad AkibaMuhammad Akiba, Hukum Lingkungan Perspektif Gloal dan Nasional, JakartaPT Raja Grafindo Persada, 2014Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung jawaban Pidana Korporasi di IndonesiaDwidja PriyatnoDwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung jawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung Utomo, 2004Nur RasaidM. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, Jakarta Sinar Grafika Offset, 2003Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ketujuhSudikno MertokusumoSudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ketujuh. Yogyakarta Acara Perdata Toeri dan PraktikSarwonoSarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Toeri dan Praktik. Jakarta Sinar Grafika B. Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945Strict Liability" dalam Penegakan Hukum Lingkungan di IndonesiaWinda AyuA PenerapanWinda Ayu A., Penerapan "Strict Liability" dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, diakses melalui
QYRSQ. 360 167 68 240 285 91 154 79 277